Sebuah keluarga muda ingin menghidupkan kembali dinding batu yang dahulu milik kakek-nenek sang klien, mempertahankan reruntuhan itu sebagai jangkar emosional dan arsitektural. Hasilnya adalah rumah yang seolah melayang di antara dua masa: keteguhan masa lalu dan kelenturan masa kini.

Reruntuhan, yang menyerupai dinding kastil, kini membingkai hunian kontemporer yang berkembang dan mendefinisikan dirinya kembali, menghormati memori sambil merangkul kehidupan modern. Akses menuju rumah dilakukan melalui reruntuhan lama, melalui area tertutup yang menandai transisi antara eksterior dan interior baru. Sebuah gestur pintu masuk yang menghidupkan kembali kenangan.

Di dalam, material kayu membawa kehangatan dan ketenangan. Di luar, batu menjaga martabat waktu. Cahaya alami menembus bukaan, menghidupkan tekstur dan menonjolkan dialog tanpa sekat antara yang lama dan yang baru.
Di ujung jalan yang tenang, dalam gugusan bangunan milik keluarga besar yang sama, terdapat sebuah reruntuhan. Sebuah keluarga muda yang sedang berkembang memutuskan untuk membangunnya kembali karena ikatan emosional yang mendalam. Reruntuhan itu dulunya milik kakek-nenek sang klien.

Tepat di sebelahnya berdiri rumah orang tuanya, tempat ia tinggal selama bertahun-tahun. Keinginan untuk kembali menempati reruntuhan ini lahir dari kerinduan akan tempat penuh kenangan dan kebutuhan untuk hidup dekat dengan keluarga inti. Di mana orang tua sang klien kini menjadi kakek-nenek sehingga dapat menyaksikan tumbuh kembang cucu mereka dengan dekat.

Reruntuhan, simbol memori dan kebersamaan, dipeluk, ditafsirkan ulang, dan diintegrasikan ke dalam proyek. Gagasan menggabungkan yang ada dengan yang baru, yang lama dengan yang kontemporer, sudah hadir dalam benak klien. Kebutuhan akan ruang-ruang khusus, baik di dalam maupun luar ruangan, menuntut adanya perluasan. Tindakan membangun kembali ini pada dasarnya adalah tindakan melanjutkan dan mempertahankan keberadaan.

Sama seperti sebelum intervensi, sebagian volumenya menghadap langsung ke jalan, di mana kini didefinisikan gerbang menuju carport. Pintu masuk pejalan kaki melalui reruntuhan, melewati area luar yang tertutup. Hal ini menciptakan momen ketika seseorang “masuk dengan cara berada di luar”.

Di dalam sisa ruang reruntuhan, selain area masuk, terdapat dapur — area paling penting dalam rumah-rumah di wilayah Minho. Dapur ditempatkan pada posisi yang mirip dengan aslinya, sehingga mempertahankan logika penggunaan sebelumnya. Di atasnya, sebuah volume kecil menjadi studio/atelier, menjaga dua lantai yang sudah ada dengan atap genteng tradisional. Upaya ini mengintegrasikan bangunan dengan lembut ke lingkungan sekitarnya dalam dialog dengan rumah-rumah tetangga.

Ruang tamu dan kamar tidur meluas ke luar batas reruntuhan, dengan pelat atap menandai transisi yang mulus antara dua masa: masa lalu dan masa kini.
Dengan cara ini, keinginan terbesar klien terpenuhi: memori, citra, dan sebagian fungsi reruntuhan tetap terjaga, sambil menciptakan cara hidup kontemporer. Proyek ini berkembang dari hubungan tersebut, yang kemudian menjadi identitasnya. Keberagaman ruang yang tercipta dari dialog antara yang lama dan yang baru mempertahankan citra dan kualitas spasial reruntuhan.

Atmosfer rumah dibentuk oleh kehadiran konstan dari reruntuhan dan berbagai ruang luar yang didefinisikannya. Selain itu, melimpahnya tekstur alami dan cahaya siang yang masuk melalui banyak bukaan, membuat tekstur bergetar hidup. Di luar, kemegahan batu menjaga memori. Di dalam, kehangatan kayu membentuk ruang-ruang yang tenang namun tetap hidup.
See more images in the gallery below
Project name: Casa em Mesão Frio
Project location: Mesão Frio, Guimarães, Portugal
Architecture Office: felixARQS – Daniel Félix Arquitectos
Main Architect: Daniel Félix
Collaboration: Daniel Monteiro; Florbela Moura
Year of conclusion: 2025
Total area: 330m2
Architectural Photographer: Ivo Tavares Studio
